Assalamu'alaikum Wr Wb. Dengan Rahmat Allah Swt, akhirnya blog sederhana ini kami tampilkan. Blog ini akan menjadi sarana komunikasi kami dengan masyarakat dimanapun berada, kami akan menyajikan berbagai informasi terkait kehidupan sosial masyarakat Sumatera Utara yang ada di Pulau Bali. Beberapa artikel tentang budaya dan sejarah dari Sumatera Utara juga menjadi topik blog ini. Akhir kata kami mengharapkan blog ini bermanfaat bagi saudara sekalaian khususnya masyarakat SUMUT. Wassalam @WMS BALI Note: kami menerima kiriman artikel yang sesuai dengan misi blog ini untuk dimuat silakan e-mail kami di : sahata_bali@mail.com

Kamis, 13 Oktober 2011

WILLEM ISKANDER - PELOPOR PENDIDIKAN BANGSA DARI MANDAILING

 
Oleh Basyral Hamidy Harahap
Ahli sejarah dan tokoh pendidikan kawakan, Dr. Hendrik Kroemenulis bahwa orang Tapanuli boleh berbagga atas prestasi Willem Iskander sebagai satu di antara orang Indonesia pertama yang telah berhasil membuktikan kemampuannya memimpin lembaga pendidikan yang penting . Pertanyaan Kroeskamp ** ini sejalan dengan isi salah satu tajuk harian De Locomotief bulan Agustus 1876 yang terbit di Semarang, berjudul In Memoriam Willem Iskander, yang menokohkan Willem Iskander sebagai pionir pendidikan bumiputera.

Liku-liku perjuangan Willem Iskander mengangkat martabat bangsa melalui jalur pendidikan memang penuh tantangan dan tanggunjawab. Ketekunannya bekerja keras, kreativitas yang produktif dan semangat pembaharuan yang menyala-nyala telah berhasil merubah cara berfikir orang Tapanuli Selatan untuk meraih kemajuan. Ini semua dilakukan Willem Iskander satu perempat abad yang lalu, ketika sarana pendidikan dalam keadaan seba sederhana dan kekurangan.Tokoh ini terkenal di Sumatera Utara, khususnya Tapanuli, sebagai guru dan penyair. Kumpulan puisi dan cerita pendeknya berjudul Si Bulus-Bulus Si Rumbuk Rumbuk pertama kali diterbitkan oleh Landsrukkerij di Batavia pada tahun 1872. Buku ini menjadi buku sumber inspirasi cita-cita kemajuan, bahkan menjadi rujukan nasihat orangtua dan ungkapan tradisional di daerah itu. Sejak tahun 1872 kumpulan puisi dan cerita pendek berbahasa Mandailing ini merupakan buku bacaan utama di Sekolah Rendah, HIS, Sekolah Rakyat dan sekarang Sekolah Dasar, khususnya di Tapanuli Selatan. Sekalipun Willem Iskander merupakan tokoh pembaharu yang sangat besar pengaruhnya dalam membuka cakrawala berfikir untuk meraih kemajuan, namun informasi tentang ditinya terlalu sedikit. 

Penulis sebagai pengagum Willem Iskander sejak duduk di bangku Sekolah Rakyat, sangat berminat untuk membuka tabir kehidupan tokoh budayawan ini. Cita-cita itu kemudian terkabul, ketika pada tahun 1975, penulis berkesempatan mengikuti orientasi pekerjaan selama tiga bulan di kantor Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde (KITLV) di Leiden. Di sela-sela kesibukan sehari-hari, penelitian Willem Iskander dimulai dari penemuan Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk edisi pertama dalam koleksi KITLV. Penelusuran selanjutnya diteruskan ke berbagai pusat arsip di negeri Belanda pada tahun 1981 dan 1985 melalui penelitian arsip yang rumit, akhirnya dikethaui alamat-alamat yang pernah ditinggali oleh Willem Iskander (5 Alamat) dan Maria Christina Jacoba Winter-Iskander (17 Alamat) di Amsterdam. Semua alamat itu penulis temukan, termasuk makam mereka yang telah lama dicari akhirnya ditemukan pada tahun 1985. Hasil pendahuluan penelititan Willem Iskander telah penulis umumkan dalam acara peringatan tepat 100 tahun meninggalnya Willem Iskander pada tanggal 8 Mei 1976 di Geliga Restaurant, Jakarta Pusat. Pada kesempatan itu Mokhtar Lubis menyampaikan makalah tentang peta politik dan sosial budaya Mandailing pertengahan abad 19, sedangkan Adam Malik dalam sambutan tertulis menyatakan bahwa Willem Iskander bukan hanya sekedar tokoh daerah, tetapi benar-benar tokoh berkaliber nasional. Untuk menyemarakkan acara itu penulis memamerkan sejumlah dokumen tentang Willem Iskander yang ditemukan di Negeri Belanda. Pada tahun-tahun berikutnya hasil-hasil penelitian Willem Iskander penulis umumkan melalui tulisan-tulisan yang dimuat di berbagai media massa yang terbit di Jakarta dan Medan, dan dalam berbagai kesempatan ceramah tahunan tentang Willem Iskander. Sejak itu, nama tokoh modernisator ini perlahan terangkat ke permukaan pers nasional. Dari penelitian yang penulis lakukan, banyak terungkap hal-hal yang menarik tentang perjuangan Willem Iskander. Salah satu manfaat yang besar dari penelitian ini ialah terbukanya cakrawala yang lebih luas dari buku Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk. Sajak-sajaknya lebih mudah didalami maknanya yang hakiki dengan bekal peangetahuan biografi pengarangnya dan situasi sosial budaya yang melatar belakangi lahirnya sajak-sajak itu.

Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk bukan hanya sekedar judul buku. Tetapi ungkapan ini merupakan inti, perasan dari seluruh prosa dan puisi Willem Iskander yang terkandung di dalam buku ini. Apabila didalami lebih jauh lagi, ungkapan ini adalah suatu hasil kajian yang diangkat dari unsur gama dan kebudayaan. Perpaduan ini diramu sedemikian rupa sehingga terpadu menjadi ungkapan filosofis. Suatu ungkapan yang merupakan falsafah hidup yang bernafaskan agama, kebudayaan dan cita-cita kemajuan. Sekalipun ide pembaharuan Willem Iskander dikumandangkannya satu abad yang lalu, tetapi satupun dari semua ide pambaharuan itu belum ada yang usang. Ini adalah kekuatan karya Willem Iskander. Ia terlempar jauh ke masa depan zamannya. Kekuatan ini pula yang menempatkan dirinya sebagai salah seorang penerima Hadiah Seni pada 1978, setelah 102 tahun dia meninggal dunia.Naskah buku itu sendiri telah sampai di Batavia tahun 1870 untuk diteliti sebelum diterbitkan. Setelah melalui pemeriksaan antara lain komentar dari Dr. Neubronner van der Tuuk, ahli bahasa Batak yang terkenal itu, maka buku ini diterbitkan oleh pemerintah ketika itu. Edisi pertama ini dicetak oleh Landsdrukkerij (Pencetakan Negara) pada tahun 1872.  Sebelum tahun 1871 Willem Iskander sudah yakin akan berangkat lagi ke Negeri Belanda untuk kedua kalinya. Ini terungkap dalam dua bait terakhir sajak Mandailing. Rencana keberangkatan itu sendiri sudah dirintisnya sejak tahun 1866 ketika Inspektur Jenderal Pendidikan Bumiputera, Mr. J.A. van der Chijs berkunjung ke Kweekschool Tanobato. Pada kesempatan itu Willem Iskander banyak mengajukan usul untuk meningkatkan mutu sekolah-sekolah guru bumiputera di Indonesia (Hindia Belanda ketika itu). Usul-usul itu termasuk peningkatan mutu guru-guru pada sekolah guru bumiputera dengan jalan memberikan beasiswa kepada guru-guru muda. Beasiswa itu dipersiapkan sedemikian rupa dan calon-calonya diseleksi secara nasional.

Pada tahun 1869 telah direncanakan suatu tugas bagi Willem Iskander untuk membawa delapan orang guru muda masing-masing dua orang dari Mandailing, Sunda, Jawa dan Minahasa. Pada tahun 1873 sudah diketahui calon-calon penerima beasiswa itu. Tetapi ternyata bukan delapan orang. Yang berhasil memperoleh beasiswa itu hanya tiga orang yakni Banas Lubis dari Mandailing (Kweekschool), Ardi Sasmita dari Sunda (Kweekschool) dan Raden Mas Surono dari Jawa (Kweekschool Tanobato Surakarta). Willem Iskandar dengan tiga guru muda itu meninggalkan Tanjung Priok pada bulan April 1874 dengan kapal Prins van Oranje menuju Amsterdam via Terusan Suez.Bagi Willem Iskander sendiri ini merupakan tugas penting, karena selain ia menjadi pembimbing mereka (ini disebutkan dalam suatu beslit khusus), ia juga akan memperoleh kesempatan untuk memperdalam pengetahuannya tentang kebudayaan, khususnya bahasa, Kesusastraan dan musik. Ini merupakan kesempatan pula baginya untuk melanjutkan studinya yang terbengkalai satu tahun pada tahun 1861/1862. Lanjutan studi itu tidak dapat diselesaikannya pada tahun 1861/1862 karena ia terpaksa pulang ke tanah air mengingat kesehatannya yang semakin memburuk.Jadi, tidak benar apabila ada keterangan yang selama ini kita dengar bahwa Willem Iskander dibuang ke Negeri Belanda. Yang benar adalah bahwa perjalanan ke Negeri belanda itu adalah rencana matang yang telah lama dipersiapkan oleh Willem Iskander. Ia bukan saja menghubungi pejabat-pejabat resmi di Indonesia, tetapi juga beberapa orang yang berpengaruh di Negeri Belanda untuk melicinkan jalan pelaksanaan rencana itu. Antara lain dengan minta kesediaan mereka memberikan rekomendasi kepada pejabat-pejabat yang menentukan di Hindia Belanda ketika itu. Orang yang dihubungi antara lain D. Hekkar Jr., bekas gurunya di Oefenschool di Amsterdam. Sedemikian rupa terperinci rencana dan tindak lanjutnya. Kweekschool Tanobato sejak tahun 1872 sudah dipersiapkan untuk pindah ke Padangsidempuan untuk dibangun menjadi suatu Pusat Studi Batak, yang akan dipimpin langsung oleh Willem Iskander setelah kembali dari Negeri Belanda pada tahun 1876. Tetapi rencana pembaharuan itu gagal karena bukan saja Banas Lubis, Ardi Sasmita dan Raden Mas Surono yang meninggal pada masa studi itu, tetapi juga tokoh kita Willem Iskander, meninggal dunia pada tanggal 8 Mei 1876 di Amsterdam dalam usia 36 tahun. Setelah 10 tahun menelusuri jejak Willem Iskander, akhirnya dalam penelitian lapangan di Belanda pada bulan Juli 1985, penulis berhasil menemukan lokasi makam Willem Iskander di Zorgvlied, Amsterdijk, dekat sungai Amstel di Amsterdam. Makamnya sendiri telah digusur pada tahun 1947 karena tidak ada lagi yang mengontraknya. Maria Christina Jacoba Winter-Iskander sendiri telah meninggal pada tanggal 25 April 1920 di Amsterdam dalam usia 69 tahun. Jasadnya dimakamkan di Nieuwe Oosterbegraafplaats. Inilah sedikit latar belakang keberangkatan Willem Iskander yang tersirat dalam bait ke-15 dan 16 sajak Mandailing yang terdapat dalam buku Si Bulus-Bulus Si Rumpuk-Rumpuk.Seorang pemuda biasanya kalau menulis sajak, bahkan ini juga dilakukan penyair manapun, ia tidak luput dari sajak cinta dalam arti Pacar. Tetapi dalam karya-karya Willem Iskander kita tidak menemukan sajak-sajak serupa itu. Masa mudanya dikorbankannya demi suatu cita-cita pembaharuan di negeri ini.Pengamatannya amat tajam, sedemikian juga penjiwaan terhadap segala sesuatu yang hidup dalam kebudayaan dipadukannya dengan ajaran-ajaran agama. Ketajaman pengamatan dan penjiwaannya nampak misalnya dalam sajak Olo-olo. Seorang pemuda yang tentu saja belum beristeri apalagi mempunyai bayi sangat berhasil mengungkapkan nyanyian ninabobo itu. Ini bukan pula sekedar ninabobo, tetapi nyanyian ini penuh petuah, bukan untuk sang bayi yang belum mengerti apa-apa tetapi bagi mereka yang sudah berpikir supaya menarik pelajaran dari semua ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya. Ini suatu gambaran sederhana tentang sajak-sajak Willem Iskander, yang sengaja penulis tonjolkan sebelum membicarakan sajak-sajaknya yang lain.

Si Bulus-Bulus Si Rumpuk-Rumpuk memang suatu gudang inspirasi bagi generasi demi generasi sesudah periode Willem Iskander. Buktinya dapat kita lihat dalam sejarah pergerakan kebangsaan di Tapanuli Selatan pada awal abad ini. Para tokoh pejuang kebangsaan itu antara lain dipimpin oleh Buyung Siregar, Muhiddin Nasution, Abu Kasim Dalimunte dan Kamaludin Nasution. Mereka menggali ide kemerdekaan nasional dari buku ini dan mereka kobarkan semangat kebangsaan itu dalam rapat-rapat raksasa yang dibayangi oleh orang-orang Politieke Inlichtingen Dients (PID), polisi rahasia kolonial. Sedemikian eratnya gerakan itu dengan karya-karya Willem Iskander, sehingga dalam arsip-arsip PID gerakan itu dijuluki Groep Si Roemboek-Roemboek. Ketika tiga tokoh yang disebut pertama dibuang ke Digul sebagai tahanan politik, ancaman peredaran buku karya utama Willem Iskander ini telah terbayang. Kemudian menjadi kenyataan beberapa waktu setelah para perintis kemerdekaan itu ditangkap .

Si Bulus-Bulus Si Rumpuk-Rumpuk telah mengalami paling sedikit 10 kali cetak ulang, baik selama masa kolonial (1903, 1906, 1915) di Batavia maupun setelah kemerdekaan di Medan, Jakarta dan Padangsidempuan. Pada tahun 1976 penulis menerjemahkan buku ini ke dalam Bahasa Indonesia, yang kemudian diterbitkan dalam edisi Dwibahasa, Bahasa Mandailing dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia, oleh penerbit PT Campusiana di Jakarta.Telah disebutkan di atas bahwa Si Bulus-Bulus Si Rumpuk-Rumpuk bukan hanya sekedar judul kumpulan prosa dan puisi karya Willem Iskander, tetapi ia merupakan suatu pandangna hidup yang dalam sekali maknanya. Untuk mengenal secara garis besar ide-ide pembaharuan Willem Iskander dan nafas keagamaan serta keakraban bertanggungjawab sesama manusia, pembicaraan mengenai buku ini sebaiknya dilakukan dengan mengelompokkan sajak-sajaknya sesuai dengan temanya.

KESIMPULAN

Apabila diambil kesimpulan dari lima tema sajak-sajak Willem Iskander (Tema Manusai Religius; Tema kasih Sayang; Tema Pendidikan; Tema Nasionalisme dan Tema Mawas Diri, maka akan nampak sejumlah prasyarat bagi manusia yang berbahagia dunia dan akhirat. Si Bulus-Bulus Si Rumpuk-Rumpuk adalah suatu perasan, suatu inti ajaran Willem Iskander. Kata-kata ini sukar dicari pandananya dalam bahasa Indonesia. Kata-kata itu memerlukan pembahasan yang khas. Oleh karena itu kata-kata ini tidak perlu diterjemahkan biarkan tetap dalam bahasa aslinya, tetapi jelaskan apa maknanya. Sama halnya dengan Tut Wuri Handayani yang diangkat oleh tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara dari filsafat hidup bangsa kita. Secara sederhana dapat disebutkan bahwa Si Bulus-Bulus Si Rumpuk-Rumpuk diartikan dengan Seia Sekata. Tetapi terjemahan ini terasa amat dangkal, sebab bukan seia sekata saja yang terkandung dalam ajaran ini, tetapi ia juga mengandungi makna bisuk yang belum ada pandanannya dalam bahasa Indonesia. Makna ajarannya masih jauh lebih luas daripada ke lima tema tersebut di atas. Tema-tema tadi hanya sekedar mengantarkan kita ke arah pemahaman karya-karya Willem Iskander. Pembahasan sajak-sajak Willem Iskander memerlukan studi tersendiri. Studi semacam ini hanya akan berhasil apabila dibekali dengan pengetahuan biografi pengarangnya dan sejarah sosial budaya yang melatar belakangi kelahiran sajak-sajak itu.

** Kroeskamp, H. Early schoolmasters in a developing country: a history of experiments in school education in 19th century Indonesia. - Assen: Van Gorcum, 1974 -p.323. 

*** Buyung Siregar, Muhiddin Nasution dan Abu Kasim Dalimunte ditangkap akhir tahun 1932 dan dipenjarakan dua tahun di Tarutung. Kemudian setelah perjalanan panjang melalui Jawa dan Ambon akhirnya tiba di tanah pembuangan Digul tahun 1935. setelah 9 tahun di Digul, mereka bertiga bersama Dugulis lainya dibawa oleh pemerintah kolonial ke Australia Utara (1944-1946). Tahun 1946 kembali ke tanah air dan aktif kembali dalam arena politik. Abu Kasim Dalimunte meninggal di Yogyakarta tahun 1947 karena sakit kolera, Buyung Siregar meninggal di Jakarta tahun 1984 sebagai perintis kemerdekaan dan Muhiddin Nasution meninggal di Ciluar, Bogor, tahun 1985 juga sebagai perintis kemerdekaan dengan jabatan terakhir sebagai anggota DPP PDI. Kamaluddin Nasution, atas nasehat Buyung Siregar berhasil menghindari penangkapan PID akhir tahun 1932 dengan hijrah ke Semenanjung. Di sana dia meneruskan perjuangan kemerdekaan dengan nama baru Abdurrahman Rahim. Tokoh ini tercatat sebagai salah seorang wartawan kawakan Malaysia (penulis tajuk Utusan Melayu 1961-1971) yang meninggal bulan Januari 1971 di Kuala Lumpur. 

Jakarta, 8 Mei 1977.
sumber : mandailing.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar