WILLEM ISKANDER - PELOPOR PENDIDIKAN BANGSA DARI MANDAILING
Oleh Basyral Hamidy Harahap
Ahli sejarah dan tokoh pendidikan kawakan, Dr. Hendrik Kroemenulis
bahwa orang Tapanuli boleh berbagga atas prestasi Willem Iskander
sebagai satu di antara orang Indonesia pertama yang telah berhasil
membuktikan kemampuannya memimpin lembaga pendidikan yang penting
. Pertanyaan Kroeskamp ** ini sejalan dengan isi salah satu tajuk
harian De Locomotief bulan Agustus 1876 yang terbit di Semarang,
berjudul In Memoriam Willem Iskander, yang menokohkan Willem Iskander
sebagai pionir pendidikan bumiputera.
Liku-liku perjuangan Willem Iskander mengangkat
martabat bangsa melalui jalur pendidikan memang penuh tantangan
dan tanggunjawab. Ketekunannya bekerja keras, kreativitas yang produktif
dan semangat pembaharuan yang menyala-nyala telah berhasil merubah
cara berfikir orang Tapanuli Selatan untuk meraih kemajuan. Ini
semua dilakukan Willem Iskander satu perempat abad yang lalu, ketika
sarana pendidikan dalam keadaan seba sederhana dan kekurangan.Tokoh ini terkenal di Sumatera Utara, khususnya
Tapanuli, sebagai guru dan penyair. Kumpulan puisi dan cerita pendeknya
berjudul Si Bulus-Bulus Si Rumbuk Rumbuk pertama kali diterbitkan
oleh Landsrukkerij di Batavia pada tahun 1872. Buku ini menjadi
buku sumber inspirasi cita-cita kemajuan, bahkan menjadi rujukan
nasihat orangtua dan ungkapan tradisional di daerah itu. Sejak tahun
1872 kumpulan puisi dan cerita pendek berbahasa Mandailing ini merupakan
buku bacaan utama di Sekolah Rendah, HIS, Sekolah Rakyat dan sekarang
Sekolah Dasar, khususnya di Tapanuli Selatan. Sekalipun Willem Iskander
merupakan tokoh pembaharu yang sangat besar pengaruhnya dalam membuka
cakrawala berfikir untuk meraih kemajuan, namun informasi tentang
ditinya terlalu sedikit.
Penulis sebagai pengagum Willem Iskander sejak
duduk di bangku Sekolah Rakyat, sangat berminat untuk membuka tabir
kehidupan tokoh budayawan ini. Cita-cita itu kemudian terkabul,
ketika pada tahun 1975, penulis berkesempatan mengikuti orientasi
pekerjaan selama tiga bulan di kantor Koninklijk Instituut voor
Taal-, Land-en Volkenkunde (KITLV) di Leiden. Di sela-sela kesibukan
sehari-hari, penelitian Willem Iskander dimulai dari penemuan Si
Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk edisi pertama dalam koleksi KITLV.
Penelusuran selanjutnya diteruskan ke berbagai pusat arsip di negeri
Belanda pada tahun 1981 dan 1985 melalui penelitian arsip yang
rumit, akhirnya dikethaui alamat-alamat yang pernah ditinggali oleh
Willem Iskander (5 Alamat) dan Maria Christina Jacoba Winter-Iskander
(17 Alamat) di Amsterdam. Semua alamat itu penulis temukan, termasuk
makam mereka yang telah lama dicari akhirnya ditemukan pada tahun
1985. Hasil pendahuluan penelititan Willem Iskander telah
penulis umumkan dalam acara peringatan tepat 100 tahun meninggalnya
Willem Iskander pada tanggal 8 Mei 1976 di Geliga Restaurant, Jakarta
Pusat. Pada kesempatan itu Mokhtar Lubis menyampaikan makalah tentang
peta politik dan sosial budaya Mandailing pertengahan abad 19, sedangkan
Adam Malik dalam sambutan tertulis menyatakan bahwa Willem Iskander
bukan hanya sekedar tokoh daerah, tetapi benar-benar tokoh berkaliber
nasional. Untuk menyemarakkan acara itu penulis memamerkan sejumlah
dokumen tentang Willem Iskander yang ditemukan di Negeri Belanda. Pada tahun-tahun berikutnya hasil-hasil penelitian
Willem Iskander penulis umumkan melalui tulisan-tulisan yang dimuat
di berbagai media massa yang terbit di Jakarta dan Medan, dan dalam
berbagai kesempatan ceramah tahunan tentang Willem Iskander. Sejak
itu, nama tokoh modernisator ini perlahan terangkat ke permukaan
pers nasional. Dari penelitian yang penulis lakukan, banyak terungkap
hal-hal yang menarik tentang perjuangan Willem Iskander. Salah satu
manfaat yang besar dari penelitian ini ialah terbukanya cakrawala
yang lebih luas dari buku Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk. Sajak-sajaknya
lebih mudah didalami maknanya yang hakiki dengan bekal peangetahuan
biografi pengarangnya dan situasi sosial budaya yang melatar belakangi
lahirnya sajak-sajak itu.
Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk bukan hanya sekedar
judul buku. Tetapi ungkapan ini merupakan inti, perasan dari seluruh
prosa dan puisi Willem Iskander yang terkandung di dalam buku ini.
Apabila didalami lebih jauh lagi, ungkapan ini adalah suatu hasil
kajian yang diangkat dari unsur gama dan kebudayaan. Perpaduan ini
diramu sedemikian rupa sehingga terpadu menjadi ungkapan filosofis.
Suatu ungkapan yang merupakan falsafah hidup yang bernafaskan agama,
kebudayaan dan cita-cita kemajuan. Sekalipun ide pembaharuan Willem Iskander dikumandangkannya
satu abad yang lalu, tetapi satupun dari semua ide pambaharuan itu
belum ada yang usang. Ini adalah kekuatan karya Willem Iskander.
Ia terlempar jauh ke masa depan zamannya. Kekuatan ini pula yang
menempatkan dirinya sebagai salah seorang penerima Hadiah Seni pada
1978, setelah 102 tahun dia meninggal dunia.Naskah buku itu sendiri telah sampai di Batavia
tahun 1870 untuk diteliti sebelum diterbitkan. Setelah melalui pemeriksaan
antara lain komentar dari Dr. Neubronner van der Tuuk, ahli bahasa
Batak yang terkenal itu, maka buku ini diterbitkan oleh pemerintah
ketika itu. Edisi pertama ini dicetak oleh Landsdrukkerij (Pencetakan
Negara) pada tahun 1872. Sebelum tahun 1871 Willem Iskander sudah yakin
akan berangkat lagi ke Negeri Belanda untuk kedua kalinya. Ini terungkap
dalam dua bait terakhir sajak Mandailing. Rencana keberangkatan
itu sendiri sudah dirintisnya sejak tahun 1866 ketika Inspektur
Jenderal Pendidikan Bumiputera, Mr. J.A. van der Chijs berkunjung
ke Kweekschool Tanobato. Pada kesempatan itu Willem Iskander banyak
mengajukan usul untuk meningkatkan mutu sekolah-sekolah guru bumiputera
di Indonesia (Hindia Belanda ketika itu). Usul-usul itu termasuk
peningkatan mutu guru-guru pada sekolah guru bumiputera dengan jalan
memberikan beasiswa kepada guru-guru muda. Beasiswa itu dipersiapkan
sedemikian rupa dan calon-calonya diseleksi secara nasional.
Pada tahun 1869 telah direncanakan suatu tugas
bagi Willem Iskander untuk membawa delapan orang guru muda masing-masing
dua orang dari Mandailing, Sunda, Jawa dan Minahasa. Pada tahun
1873 sudah diketahui calon-calon penerima beasiswa itu. Tetapi ternyata
bukan delapan orang. Yang berhasil memperoleh beasiswa itu hanya
tiga orang yakni Banas Lubis dari Mandailing (Kweekschool), Ardi
Sasmita dari Sunda (Kweekschool) dan Raden Mas Surono dari Jawa
(Kweekschool Tanobato Surakarta). Willem Iskandar dengan tiga guru
muda itu meninggalkan Tanjung Priok pada bulan April 1874 dengan
kapal Prins van Oranje menuju Amsterdam via Terusan Suez.Bagi Willem Iskander sendiri ini merupakan tugas
penting, karena selain ia menjadi pembimbing mereka (ini disebutkan
dalam suatu beslit khusus), ia juga akan memperoleh kesempatan untuk
memperdalam pengetahuannya tentang kebudayaan, khususnya bahasa,
Kesusastraan dan musik. Ini merupakan kesempatan pula baginya untuk
melanjutkan studinya yang terbengkalai satu tahun pada tahun 1861/1862.
Lanjutan studi itu tidak dapat diselesaikannya pada tahun 1861/1862
karena ia terpaksa pulang ke tanah air mengingat kesehatannya yang
semakin memburuk.Jadi, tidak benar apabila ada keterangan yang selama
ini kita dengar bahwa Willem Iskander dibuang ke Negeri Belanda.
Yang benar adalah bahwa perjalanan ke Negeri belanda itu adalah
rencana matang yang telah lama dipersiapkan oleh Willem Iskander.
Ia bukan saja menghubungi pejabat-pejabat resmi di Indonesia, tetapi
juga beberapa orang yang berpengaruh di Negeri Belanda untuk melicinkan
jalan pelaksanaan rencana itu. Antara lain dengan minta kesediaan
mereka memberikan rekomendasi kepada pejabat-pejabat yang menentukan
di Hindia Belanda ketika itu. Orang yang dihubungi antara lain D.
Hekkar Jr., bekas gurunya di Oefenschool di Amsterdam. Sedemikian rupa terperinci rencana dan tindak lanjutnya.
Kweekschool Tanobato sejak tahun 1872 sudah dipersiapkan untuk pindah
ke Padangsidempuan untuk dibangun menjadi suatu Pusat Studi Batak,
yang akan dipimpin langsung oleh Willem Iskander setelah kembali
dari Negeri Belanda pada tahun 1876. Tetapi rencana pembaharuan
itu gagal karena bukan saja Banas Lubis, Ardi Sasmita dan Raden
Mas Surono yang meninggal pada masa studi itu, tetapi juga tokoh
kita Willem Iskander, meninggal dunia pada tanggal 8 Mei 1876 di
Amsterdam dalam usia 36 tahun. Setelah 10 tahun menelusuri jejak Willem Iskander,
akhirnya dalam penelitian lapangan di Belanda pada bulan Juli 1985,
penulis berhasil menemukan lokasi makam Willem Iskander di Zorgvlied,
Amsterdijk, dekat sungai Amstel di Amsterdam. Makamnya sendiri telah
digusur pada tahun 1947 karena tidak ada lagi yang mengontraknya.
Maria Christina Jacoba Winter-Iskander sendiri telah meninggal pada
tanggal 25 April 1920 di Amsterdam dalam usia 69 tahun. Jasadnya
dimakamkan di Nieuwe Oosterbegraafplaats. Inilah sedikit latar belakang keberangkatan Willem
Iskander yang tersirat dalam bait ke-15 dan 16 sajak Mandailing
yang terdapat dalam buku Si Bulus-Bulus Si Rumpuk-Rumpuk.Seorang pemuda biasanya kalau menulis sajak, bahkan
ini juga dilakukan penyair manapun, ia tidak luput dari sajak cinta
dalam arti Pacar. Tetapi dalam karya-karya Willem Iskander kita
tidak menemukan sajak-sajak serupa itu. Masa mudanya dikorbankannya
demi suatu cita-cita pembaharuan di negeri ini.Pengamatannya amat tajam, sedemikian juga penjiwaan
terhadap segala sesuatu yang hidup dalam kebudayaan dipadukannya
dengan ajaran-ajaran agama. Ketajaman pengamatan dan penjiwaannya
nampak misalnya dalam sajak Olo-olo. Seorang pemuda yang tentu saja
belum beristeri apalagi mempunyai bayi sangat berhasil mengungkapkan
nyanyian ninabobo itu. Ini bukan pula sekedar ninabobo, tetapi nyanyian
ini penuh petuah, bukan untuk sang bayi yang belum mengerti apa-apa
tetapi bagi mereka yang sudah berpikir supaya menarik pelajaran
dari semua ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya. Ini suatu gambaran
sederhana tentang sajak-sajak Willem Iskander, yang sengaja penulis
tonjolkan sebelum membicarakan sajak-sajaknya yang lain.
Si Bulus-Bulus Si Rumpuk-Rumpuk memang suatu gudang
inspirasi bagi generasi demi generasi sesudah periode Willem Iskander.
Buktinya dapat kita lihat dalam sejarah pergerakan kebangsaan di
Tapanuli Selatan pada awal abad ini. Para tokoh pejuang kebangsaan
itu antara lain dipimpin oleh Buyung Siregar, Muhiddin Nasution,
Abu Kasim Dalimunte dan Kamaludin Nasution. Mereka menggali ide
kemerdekaan nasional dari buku ini dan mereka kobarkan semangat
kebangsaan itu dalam rapat-rapat raksasa yang dibayangi oleh orang-orang
Politieke Inlichtingen Dients (PID), polisi rahasia kolonial. Sedemikian
eratnya gerakan itu dengan karya-karya Willem Iskander, sehingga
dalam arsip-arsip PID gerakan itu dijuluki Groep Si Roemboek-Roemboek.
Ketika tiga tokoh yang disebut pertama dibuang ke Digul sebagai
tahanan politik, ancaman peredaran buku karya utama Willem Iskander
ini telah terbayang. Kemudian menjadi kenyataan beberapa waktu setelah
para perintis kemerdekaan itu ditangkap .
Si Bulus-Bulus Si Rumpuk-Rumpuk telah mengalami
paling sedikit 10 kali cetak ulang, baik selama masa kolonial (1903,
1906, 1915) di Batavia maupun setelah kemerdekaan di Medan, Jakarta
dan Padangsidempuan. Pada tahun 1976 penulis menerjemahkan buku
ini ke dalam Bahasa Indonesia, yang kemudian diterbitkan dalam edisi
Dwibahasa, Bahasa Mandailing dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia,
oleh penerbit PT Campusiana di Jakarta.Telah disebutkan di atas bahwa Si Bulus-Bulus Si
Rumpuk-Rumpuk bukan hanya sekedar judul kumpulan prosa dan puisi
karya Willem Iskander, tetapi ia merupakan suatu pandangna hidup
yang dalam sekali maknanya. Untuk mengenal secara garis besar ide-ide
pembaharuan Willem Iskander dan nafas keagamaan serta keakraban
bertanggungjawab sesama manusia, pembicaraan mengenai buku ini sebaiknya
dilakukan dengan mengelompokkan sajak-sajaknya sesuai dengan temanya.
KESIMPULAN
Apabila diambil kesimpulan dari lima tema sajak-sajak Willem Iskander (Tema Manusai Religius; Tema kasih Sayang; Tema Pendidikan; Tema Nasionalisme dan Tema Mawas Diri, maka akan nampak sejumlah prasyarat bagi manusia yang berbahagia dunia dan akhirat. Si Bulus-Bulus Si Rumpuk-Rumpuk adalah suatu perasan, suatu inti ajaran Willem Iskander. Kata-kata ini sukar dicari pandananya dalam bahasa Indonesia. Kata-kata itu memerlukan pembahasan yang khas. Oleh karena itu kata-kata ini tidak perlu diterjemahkan biarkan tetap dalam bahasa aslinya, tetapi jelaskan apa maknanya. Sama halnya dengan Tut Wuri Handayani yang diangkat oleh tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara dari filsafat hidup bangsa kita. Secara sederhana dapat disebutkan bahwa Si Bulus-Bulus Si Rumpuk-Rumpuk diartikan dengan Seia Sekata. Tetapi terjemahan ini terasa amat dangkal, sebab bukan seia sekata saja yang terkandung dalam ajaran ini, tetapi ia juga mengandungi makna bisuk yang belum ada pandanannya dalam bahasa Indonesia. Makna ajarannya masih jauh lebih luas daripada ke lima tema tersebut di atas. Tema-tema tadi hanya sekedar mengantarkan kita ke arah pemahaman karya-karya Willem Iskander. Pembahasan sajak-sajak Willem Iskander memerlukan studi tersendiri. Studi semacam ini hanya akan berhasil apabila dibekali dengan pengetahuan biografi pengarangnya dan sejarah sosial budaya yang melatar belakangi kelahiran sajak-sajak itu.
** Kroeskamp, H. Early schoolmasters in a developing
country: a history of experiments in school education in 19th century
Indonesia. - Assen: Van Gorcum, 1974 -p.323.
*** Buyung Siregar, Muhiddin Nasution dan Abu Kasim
Dalimunte ditangkap akhir tahun 1932 dan dipenjarakan dua tahun
di Tarutung. Kemudian setelah perjalanan panjang melalui Jawa dan
Ambon akhirnya tiba di tanah pembuangan Digul tahun 1935. setelah
9 tahun di Digul, mereka bertiga bersama Dugulis lainya dibawa oleh
pemerintah kolonial ke Australia Utara (1944-1946). Tahun 1946 kembali
ke tanah air dan aktif kembali dalam arena politik. Abu Kasim Dalimunte
meninggal di Yogyakarta tahun 1947 karena sakit kolera, Buyung Siregar
meninggal di Jakarta tahun 1984 sebagai perintis kemerdekaan dan
Muhiddin Nasution meninggal di Ciluar, Bogor, tahun 1985 juga sebagai
perintis kemerdekaan dengan jabatan terakhir sebagai anggota DPP
PDI. Kamaluddin Nasution, atas nasehat Buyung Siregar berhasil menghindari
penangkapan PID akhir tahun 1932 dengan hijrah ke Semenanjung. Di
sana dia meneruskan perjuangan kemerdekaan dengan nama baru Abdurrahman
Rahim. Tokoh ini tercatat sebagai salah seorang wartawan kawakan
Malaysia (penulis tajuk Utusan Melayu 1961-1971) yang meninggal
bulan Januari 1971 di Kuala Lumpur.
sumber : mandailing.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar